Cari Blog Ini

Kamis, 20 Oktober 2011

PEMBERBADAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah diharapkan mampu menghadirkan keadaan-keadaan yang tidak mampu diselenggarakan dan diserahkan kepada masing-masing individu karena adanya kecenderungan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya. Ketika manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok belum mengenal pemerintahan, maka yang terjadi adalah pembelanjaan sebagian besar energinya untuk bertarung mempertahankan hidup. Kesadaran akan kebutuhan untuk bertahan hidup disamping juga untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya inilah yang kemudian berada dibalik lahirnya sebuah pemerintah.
Administrasi negara yang dalam hal ini adalah Pemerintah dan juga jajaran birokrasi bukan dibentuk dalam konteks untuk melayani dirinya sendiri atau menyelenggarakan kepentingannya sendiri, melainkan dibentuk dengan tugas utama untuk melayani apa yang menjadi kepentingan masyarakat atau public (public interest). Kendatipun Pemerintah memiliki kepentingan tertentu, maka pada dasarnya kepentingan tersebut harus dikembalikan dan disandarkan pada hakekat perwujudan kepentingan public. Kepentingan public menjadi koridor atas apa menjadi aktivitas pemerintahan. Dalam proses perwujudan kepentingan tersebut, banyak hal yang dituntut dari sebuah pemerintah, tidak saja menyangkut persoalan-persoalan technical competence tetapi juga persoalan-persoalan yang lebih berdimensi ethic yang lebih menekankan pada komitmen dan konsistensi. Profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, etika Administrasi Negara adalah sedikit diantara banyak terminology yang merepresentasikan tuntutan terhadap pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kebeadaan pemerintah atau sering disebut birokrasi tidak lain adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik. Dalam hubungan ini segala kecenderungan dan sifat yang menjadi karakteristik dari masing-masing pihak, baik pemerintah maupun dari masyarakat, sama-sama akan memberikan gambaran mengenai bagaimana kinerja pelayanan publik tersebut dilakukan. Dari pihak pemerintah misalnya, karakteristik birokrasi beserta segenap orientasi politiknya akan membawa konsekuensi tersendiri bagi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Birokrasi yang korup, misalnya hanya akan menjadikan bidang pelayanan publik sebagai ajang untuk memperkaya lahannya. Dalam kondisi ini orientasi pelayanan hanya ditujukan pada pihak-pihak yang bisa memberi kontribusi terhadap kelanggengan kekuasaannya, maka pelayanan publik menjadi sangat jauh dari yang diharapkan. Sebaliknya birokrasi yang benar-benar berjalan atas dasar nilai-nilai demokrasi, akan banyak mendasarkan kinerjanya pada hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak. Sementara dari sisi masyarakat sebagai pengguna jasa layanan misalnya, partisipasi yang rendah dan kurangnya daya kritis terhadap kinerja pemerintahan, akan menjadikan posisi tawarnya menjadi lemah sehingga tidak ada jalan lain baginya kecuali menerima pemberian layanan apa adanya meski dengan kualitas yang memprihatinkan.
Dewasa ini tuntutan akan hadirnya sebuah pemerintahan yang handal dalam memberikan pelayanan public tidak bisa dihindarkan lagi, meski dalam kecenderungan globalisasi yang terjadi sekarang pemberian pelayanan publik tidak lagi menempatkan negara sebagai satu-satunya aktor penting tetapi terdapat pula komponen lain seperti organisasi bisnis, organisasi nirlaba (Dwidjowijoto, 2001:3). Peran pemerintah tetap dirasakan vital, setidaknya untuk meregulasi mengenai mana pelayanan yang mesti ditangani sendiri, mana yang mesti diserahkan sepenuhnya pada dasar (Swasta), dan mana yang mesti dikerjakan secara bersama-sama.
Konfigurasi kondisi seperti yang telah disebutkan, menunjukkan bagaimana praktek penyelenggaraan pemerintahan tidak saja dipengaruhi oleh kemampuan atau kompetensi manajerial secara teknis dalam memberikan pelayanan, tetapi dalam konteks yang luas penyelenggaraan pelayanan publik juga dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat politis. Dimensi politik yang tidak mendukung atau kondusif terhadap iklim yang dituntut oleh sebuah sistem pemerintahan yang baik akan menyebabkan dan menjadi kendala tesendiri bagi proses penyelenggaraan pemeirntahan yang selanjutnya turut mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pelayanan public.
Isu utama dalam pembicaraan mengenai pemeirntahan adalah bagaimana pelayanan oleh organisasi public dapat diselenggarakan pada tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Kondisi ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa banyak organisasi public di setiap pemerintahan menghadapi masalah berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi dalam memberikan pelayanan publik. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan public yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa pelayanan yang selama ini didominasi oleh pemerintah masih belum memunculkan kondisi efektivitas dan efisiensi sebagaimana diharapkan. Kewenangan yang bersifat monopoli untuk memberikan pelayanan publik pada kenyataannya tidak diarahkan untuk memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik, sebaliknya aparat birokrasi justru lebih menunjukkan sikap dan perilaku untuk dilayani oleh masyarakat bukannya melayani sebagaimana yang seharusnya.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia ditandai dengan dominasinya peran pemerintah sebagai institusi pemberi layanan tanpa adanya refleksi yang kuat untuk membentuk jaringan interaktif dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Bahkan antara aparatr birokrasi dengan masyarakatpun terdapat jarak yang cukup lebar di mana aparatur hanya mampu menempatkan posisinya sebagai mesin birokrasi yang segala sesuatu tindakannya yang berkaitan dengan pemerintahan harus diadaptasikan dengan apa yang telah ditentukan secara terpusat dan top down oleh elite birokrasi. Efektifitas dan efisiensi pun menjadi sebuah harapan yang sulit terwujud pada keadaan yang demikian, justru sebaliknya kinerja pemerntahan berada pada tingkat yang rendah. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi pernyataan effendi (1993:10-11) bahwa kinerja birokrasi pelayanan publik tersebut masih tergolong sangat rendah, hasil pelayanannya cenderung terlalu biasa kepada kelompok masyarakat Kota dan masyarakat berpenghasilan menengah keatas, serta kualitasnya masih rendah. Pernyataan ini menunjukkan sebuah realitas bahwa pemerintahan di Indonesia masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Birokrasi atau Organisasi pelayanan publik masih menunjukkan karakter pelayanan yang cenderung baru bergerak jika “uang turut bicara”, yang jelasnya hanya dimiliki oleh mereka pihak-pihak menengah keatas. Akibatnya pemerintahan di Indonesia menjadi pemerintahan yang mahal, lamban atau lama, dan umumnya hanya mampu menyentuh mereka yang memiliki akses ekonomi relatif tinggi.
Kondisi ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Abdul Wahab (1999:35) bahwa pada kebanyakan kasus, di sektor pemerintahan itu karakternya cenderung terlalu birokratik, bersifat monopolistic. Dalam hal yang demikian manajemen publik kurang trengginas dalam menjemput peluang-peluang dan mengatasi berbagai persoalan serta merespon dengan cepat tuntutan-tuntutan baru yang muncul. Oleh karena itu, Ia tidak konfusif bagi penciptaan suasana pelayanan publik yang transparan, komprehensif dan berkualitas. Pada bagian lain juga dikemukakan apabial birokrasi di Indonesia menjadi tetalu besar untuk hal-hal yang kecil dan terlalu kecil untuk hal-hal yang besar.
Kualitas pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari keadaan efektivitas dan efisiensi yang diharapkan. Banyak argument diajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai penyebab terjadi inefektivitas dan inefisiensi dalam pelayanan publik tersebut, antara lain moral dan mental aparat yang rendah, kompetensi manajerial yang rendah, kentalnya kepentingan politik kelompok tertentu, partisipasi masyarakat yang rendah (Effendi, 1991).
Lemahnya dan rendahnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan pada satu sisi dapat dipahami bahwa pemerintah sebagai pelayan publik masih mengalami ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan ini tidak saja menghinggapi Pemerintahan pada level pusat dan daerah tetapi juga dialami oleh pemerintahan dalam level yang terkecil yakni Desa. Desa adalah wilayah yang rawan terkontaminasi oleh praktek-praktek birokratisasi yang merusak, yang menyebabkan Pemerintahan Desa itu sendiri tidak berdaya, misalnya kepemimpinan bergaya priyayi yang memperdayai rakyat, kepemimpinan yang feudal, penggunaan paradigm kekuasaan dan kekayaan yang melanggengkan status qup dan menyuburkan korupsi.
Dengan kondisi tersebut, Pemerintah Desa memperlihatkan ketidakberdayaan dalam memberikan pelayanan publik dan menyelenggarakan pembangunan yang partisipatif. Pemerintah Desa pada umumnya tidak memiliki visi, misi dan rencana strategis yang memadai untuk menjalankan roda pemerintahan dan membangun masyarakat Desa secara utuh dari sisi ekonomi, politik, sosial dan fisik.
Mendasarkan pada kenyataan yang menunjukkan masih banyaknya kekurangan dan ketidakberdayaan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa, maka kajian mengenai pemberdayaan menjadi sangat relevan untuk diangkat. Selain itu implikasi dari diberlakukannya otonomi daerah juga menuntut Desa melakukan berbagai ragam pembaharuan secara internal sebagaimana dituntut oleh otonomi. Pembaharuan ini hanya mungkin dilakukan manakalah Pemerintah Desa sudah mampu memberdayakan dirinya. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dipandang perlu melakukan kajian “Pemberdayaan Pemerintah Desa”. Pemberdayaan ini diarahkan pada elemen-elemen atau aktor Pemerintah Desa yakni Pemerintah Desa. Badan Perwakilan (Permusyawaratan) Desa, dan masyarakat sebagai komunitas civil society.

B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi penyelenggaraan Pemerintah di Kabupaten Manokwari dilihat dari kondisi tiga aktor atau pilar pemerintahan yang ada ?
2.      Apa yang menjadi ketidakberdayaan dari penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manokwari dan Upaya pemberdayaan apa yang seharusnya dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintah desa ?
3.      Bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat di Kabupaten Manokwari.

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan fenomena dan fakta tentang :
1.      Penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten Manokwari.
2.      Ketidakberdayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manokwari dan upaya pemberdayaan yang telah dilakukan serta merumuskan agenda pemberdayaan yang seharusnya dilakukan.

D.    Kontribusi Penelitian
1.      Sebagai sebuah kontribusi akademis dalam mengembangkan konsep dan model pemberdayaan pemerintahan desa.
2.      Sebagai sumbangan praktis bagi pemerintah dalam memahami fakta-fakta lapangan dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan program pemberdayaan dan pemerintahan.
3.      Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti-penelitian lain.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pemberdayaan
Saat ini pemberdayaan menjadi sebuah keharusan tidak hanya di dunia barat tetapi juga di negara-negara dunia ketiga seperti lndonesia, terlebih dengan bergulirnya arus demokratisasi yang menghendaki dan mensyaratkan masyarakat yang berdaya.
Dalam konteks pembangunan, lahirnya pendekatan pemberdayaan tidak terlepas sebagai upaya belajar dari pengalaman kegagalan pendekatan pembangunan yang lebih menekankan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) yang telah banyak melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan serta pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Pemberdayaan merupakan pendekatan yang lebih "humanize" sebagai perwujudan dari pendekatan "community based development” dan "people centered development”. Aliran pembangunan ini lahir ketika terjadi perluasan degradasi terhadap nilai dan martabat manusia sebagai akibat dari orientasi pertumbuhan ekonomi yang tidak proporsional (Sulistiyani, 2004:70).
Pemberdayaan adalah membenahi kapasitas untuk memberdayakan diri mereka sendiri dengan terlebih dahulu memberikan kekuasaan kepada mereka. Istilah "mereka" di sini dapat merupakan individu, masyarakat, organisasi baik swasta maupun publik. Pendapat ini disampaikan oleh Goldberg  (1996:71). Mendasarkan pada pengertian ini maka pemberdayaan pada tahap awal menyangkut aspek kekuasaan yang juga harus terdistribusikan dan dimiliki oleh masyarakat. Dimensi pemberdayaan dengan demikian juga dipengaruhi tatanan sosial politik mengenai distribusi kekuasaan. Pada kondisi "sesuatu” yang disinyalir tidak berdaya merefleksikan keterbatasan atau bahkan tidak adanya sama sekali kekuasan yang dimiliki oleh masyarakat.
Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar "daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan/ atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistiyani, 2004:77).
Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan, menciptakan situasi atau meminta kepada pihak lain untuk memberikan daya/ kekuatan/ kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika masyarakat menyadari ketidakberdayaan/tidak adanya kekuatan, dan sekaligus disertai de.ngan kesadaran akan perlunya memperoleh daya/kemampuan. Makna kata “pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memilikikekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lain.
Pendapat lain  disampaikan Beris dan Mische sebagaimana dikutip oleh Sedarmayanti (1999: 79) menjelaskan:
Pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokrasi yang mengkotak-kotakkan orang dan membuat mereka menggunakan seefektif mungkin keterampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. Ini berarti memperkenankan mereka untuk mengembangkan suatu perasaan memiliki bagian-bagian dari proses, khususnya yang menjadi tanggung jawab mereka. Sementara pada waktu yang sama menuntut mereka menerima suatu bagian tanggung jawab dan kepemilikan yang lebih luas dari keseluruhan proses.

Pada bagian lain, Paul (dalam Pranarka dan Moeljarto, 1996:63) juga menyatakan pendapat yang hampir senada bahwa pemberdayaan adalah membagi kekuasaan yang adil atau "equitabte sharing of powef”, sehingga meningkatkan kesadaran politik dan kekuasaan pada kelompok yang lemah dan memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Di sini tampak jelas bagaimana keterkaitan normatif dan empirik pemberdayaan dengan proses pembangunan. Ide dasarnya bahwa pembangunan sebagai sebuah proses maupun hasil harus menstrukturkan, mencerminkan dimensi-dimensi pemberdayaan masyarakat karena masyarakat baik sebagai sebuah individu maupun identitas kelompok tidak lain adalah subyek dari pembangunan itu sendiri. Pemberdayaan tidak lain merupakan upaya konkrit untuk menempatkan masyarakat pada posisi yang semestinya dalam pembangunan.
Dengan perkataan lain, paradigma pembangunan yang menempatkan posisi penting masyarakat tidak akan bermakna banyak ketika masyarakat yang ada adalah masyarakat yang tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan peran penting pembangunan. Oleh karena itu agar masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang memiliki potensi dan kapasitas sebagaimana dituntut dalam menjalankan peran pembangunan maka yang harus dilakukan adalah membangun dengan mendorong atau “empowering”, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi atau “awareness” yang dimiliki masyarakat serta berusaha untuk mengembangkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Kartasasmita (dalam Moeljarto, 1996:140).
Pembangunan mengandung esensi bahwa pihak yang diberdayakan memiliki “power” yang berarti menjadikan ornag-orang mampu memutuskan sendiri dan melaksanakan keputusan tersebut atas dasar kesadaran pribadi dengan cara merealisasikan dan memenuhi kebutuhan dasar manusia terlebih dahulu baik dalam pengalokasian maupun penggunaan sumber-sumber secara mandiri dan secara bersamasama dengan peluang partisipasi seoptimal mungkin. Pemberdayaan juga merupakan konsep tentang pemberian kepada, pemerintah, individu, kelompok maupun masyarakat tentang tanggung jawab dan bagaimana mereka melakukan apa yang hendak mereka lakukan.
Carizon sebagaimana dikutip oleh (Kempton, 1995:209) menyebutkan bahwa “the purpose of empowerment is to free someone from rigorous control by instruction and orders and give them freedom to take responsibility for their on ideas and action, to release hidden resources which would otherwise remain inaccessible”. Mengacu pada pendapat diatas, maka pemberdayaan diarahkan untuk membebaskan seseorang dari kendali yang kaku melalui berbagai instruksi dan perintah dengan memberi kebebasan kepada mereka untuk bertanggung jawab atas ide-ide dan tindakan mereka untuk merealisasikan potensi yang terpendam. Merealisasikan potensi yang terpendam dalam diri manusia berarti menggali atau membangkitkan kesadaran kritis yang ada dalam diri seseorang yang oleh Freire (dalam Pranarka dan Moeljarto, 1996 : 57) disebut conscientitation” yang dicapai dengan melihat ke dalam diri sendiri atau merupakan proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan interaksi atau hubungan-hubungan politik, ekonomi dan sosial.
Apa yang dikemukakan Goldberg (1996:71) dan Friedmann (1992:76) memiliki relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Freire bahwa pemberdayaan bukan hanya sekedar memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan akan tetapi merupakan upaya untuk mendorong masyarakat mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif (Freire daram Wilber dan Jameson, 1992:559). Artinya bahwa pemberdayaan lebih menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat dengan maksud dan tujuan agar mereka mampu memutuskan dan menemukan jalan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. pemberdayaan lebih dari sekedar pendelegasian agar kekuasaan ditempatkan secara tepat sehingga dapat digunakan secara tepat pula dan hal ini menuntut tidak saja pelimpahan tugas melainkan juga pelimpahan proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab secara penuh.
Pemberdayaan mengandung dua kecenderungan dalam prosesnya yaitu pertama pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada individu, kelompok dan masyarakat untuk menjadikan mereka lebih berdaya melalui pembangunan aset-aset material yang mendukung kemandirian masyarakat dan yang kedua pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Seperti yang dikatakan Moeljarto (1996: 138):
Pemberdayaan dapat dilakukan secara individual karena proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut hubungan atau relasi antar lapisan sosial yang dicirikan dengan adanya polarisasi maka kemampuan individu untuk berkumpul dan membentuk kelompok merupakan pemberdayaan yang paling efektif karena di dalamnya terjadi dialog yang dapat menumbuhkan dan memperkuat solidaritas, kesadaran, dan identitas untuk menyadari kepentingan bersama. Tanpa kekuatan yang terorganisasi maka masyarakat pada level grassroot hanya akan menjadi penerima pasif atau hanya memiliki pengaruh yang relatif terbatas atas berbagai keputusan, dan program-program yang menyangkut diri organisasi atau institusi lokal yang keberadaannya merefleksikan rasa saling percaya dan kesamaan kepentingan didalam masyarakat pada level grassroot dan akan memudahkan terjalinnya dialog dengan aktor, individu, kelompok atau bahkan organisasi lain.

Didalam Stewart (1998:33) pemberdayaan memungkinkan organisasi-organisasi untuk:
Menanggapai pelanggan dan tuntutan-tuntutan pasar secara cepat, flesibel dan efisien. Hasilnya adalah berkurangnya pemborosan, penundaan dan kesalahan juga terbangunnya suatu tim kerja dimana staf menjadi sumber daya yang dimanfaatkan secara penuh. Ini bukan semata-mata perkara kebaikan hati. Staf merupakan investasi yang sangat berharga. Perekrutan dan pelatihan mereka memakan biaya yang tidik sedikit, perimbangan akan pemberian pelayanan yang baik akan mendorong kita agar mengupayakan sistem-sistem yang mendatangkan hasil sebesar-besarnya dari investasi itu.


Strategi dan model pembangunan yang berintikan pemberdayaan dipandang paling tepat untuk pembangunan di masa datang. Secara garis besar menurut Fiedmann (1992:17), konsep pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pelajaran sosial melalui pengalaman langsung.
Model pemberdayaan yang inti pokoknya berpusat pada membangun manusia, menurut Statamis (dalam Kiirana, 1997:72) adalah memberdayakan setiap anggota tim untuk melaksanakan dan mengelola kinerja unitnya melalui perencanaan, pengendalian, pengkoordinasian ataupun penyempumaan pekerjaan.
Untuk memberdayakan masyarakat di pedesaan, lslami (1998:35) mensinyalir bahwa masih banyak aparat birokrasi terutama di daerah-daerah yang belum menguasai teknik-teknik administrasi modern, seperti manajemen partisipatif, manajemen pelayanan publik, sistem anggaran, manajemen sumber daya lokal, pemberdayaan masyarakat, pemerintahan yang representatif dan sebagainya. Persyaratan tersebut di atas sangat menunjang keberhasilan pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan.
Dalam mendukung tercapainya tujuan pembangunan di pedesaan, menurut Briant and White (1989:273), peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian (self-reliance) yang dibutuhkan oleh para anggota masyarakat pedesaan yang tergolong miskin demi akselerasi pembangunan, sedangkan peran pemerintah adalah menetapkan kebijakan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab dalam melayani kepentingan umum.
Korten dan Camer (1988:272) menyebutkan pengembangan dan penerapan lebih lanjut kerangka kerja yang berpusat pada rakyat dengan merumuskan secara jelas pembangunan dalam pengertian rakyat dan kesinambungan kesejahteraan mereka serta kebijakan yang tanggap terhadap kebutuhan seluruh rakyat dan yang terpenting, struktur-struktur itu hidup dimana terdapat dan disanalah seharusnya kebijaksanaan pemerintah yang kokoh selalu berawal. Sebagaimana disebutkan oleh lslamy (1997:21 dan 51) pembuat keputusan harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai masyarakat seluruhnya benar-benar bertujuan untuk mengatasi masalah dan memenuhi keinginan serta tuntutan seluruh anggota masyarakat dan kebijakan negara itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat.
Sedangkan Abdul Wahab (1997:51) menyebutkan dalam merumuskan dan mengevaluasi kemaslahatan kebijakan, pembuat kebijakan haruslah membiarkan rakyat untuk membicarakan sendiri apa yang baik bagi diri mereka dan janganlah pembuat kebijakan itu sendiri yang mendikte (sekalipun atas nama mereka) dan perlunya kebijakan publik yang kian responsif serta partisipatif.
Kearifan lokal atau aspirasi lokal selama ini tidak pernah diikutsertakan dalam perumusan dan pelaksanaan pembangunan di daerah mereka. Selanjutnya Korten (1988 : 376) mengemukakan pentingnya budaya rokar sebagai suatu aset dalam pembangunan dan bukan sebagai hambatan. Demikian pula bagi Soetrisno (1995:214) kewajiban pemerintah adalah menciptakan kebijaksanaan ekonomi, sosial dan politis yang meyakinkan warga desa, bahwa pemerintah benar-benar menghargai partisipasi masyarakat.
Kebijakan partisipasif sebagaimana dikemukakan oleh Duming dan White (Abdul Wahab, (1998:53-57) memuat empat unsur utama, yaitu: (1) demokrasi partisipasif, yang bermaksud memberdayakan masyarakat yang berperan sebagai subyek dengan cara berpartisipsi secara aktif dalam proses kebijakan. (2) penyediaan input analitik yaitu forum dengar pendapat untuk mendapatkan masukan (informasi) agar pembuatan keputusan diwujudkan jauh lebih baik. (3) Kebijakan partisipatif, yaitu bergantung pada metode partisipatoris bekerjasama secara intensif dalam suasana kesetaraan. (4) Kebijakan untuk kepentinga stakeholder yaitu menitikberatkan pada aspek- pertanggungjawaban siapa aktor yang paling bertanggungjawab atas suatu kebijakan. Sedangkan Gilbert dan Gugler (1996:265), berpendapat untuk memberdayakan masyarakat maka kebijakan yang dibuat juga yang lebih berbasis lokal.



B.     Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa
1.      Pemerintah Daerah
Untuk mewujudkan pemerintahan daerah di Indonesia yang lebih baik dimasa datang, dalam membahas hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan daerah ini sangat ingin mengajak untuk mulai memperhatikan aspek ekonomi.
Studi mengenai perekonomian daerah memang belum lama berkembang yaitu pada tahun 198-an, sehingga definisi pemerintahan daerah dalam pandangan akademi yang memperhatikan bidang ekonomi juga berbeda dengan yang biasa kita ketahui. Secara umum pemerintah daerah dipahami sebagai : organisasi yang ditetapkan oleh undang-undang dipilih secara demokratis yang berkedudukan dibawah pemerintah pusat, propinsi atau pemerintah regional : yang menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat dalam wilayah kekuasaannya.
Cole dan Boyne mendefinisikan pemerintahan daerah sebagai : suatu badan dipilih secara demokratis dalam daerah tertentu yang berwenang memungut pajak untuk melaksanakan kebijaksanaan yang dibuatnya sendiri atas pelayanan kepada masyarakat yang mereka berikan.
Menurut definisi tersebut ada tiga unsur penting dalam pemerintahan daerah yaitu :
1.      Dibentuk melalui pemilihan lokal yang demokratis.
2.      Berwenang memungut pajak
3.      Berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara secara tradisional pemerintahan daerah dalam konsep yang dipakai di Indonesia sebagaimana rumusan daerah otonom, yaitu : persatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiir dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 butir UU No. 5/1974). Dalam UU No. 22/1999 yang sekarang dirubah menjadi UU.32/2004 rumusan daerah otonom sedikit diubah menjadi : kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang dan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia.
Dalam definisi pemerintahan dari sudut pandang politik tersebut tidak disinggung tentang efektifitas Pemerintah Daerah. Demikian pula berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi objektif daerah yang kurang memadai, misalnya kapasitas politik, kondisi geografi, dan kurangnya pemahaman masyarakat daerah yang bisa mempengaruhi keberhasilan pemerintahan kurang diperhatikan. Karenanya argumentasinya yang menjadi pembenar utama mengenai pemerintahan daerah bagi ilmuwan politik, bahwa pemerintahan daerah tidaklah sesederhana suatu mekanisme pemberian pelayanan masyarakat dalam sektor publik.
Belajar dari pengalaman di negara-negara yang sudah maja, dimana pemerintahan daerah kegiatan utamanya adalah melayani masyarakat, maka kiranya sudah waktunya untuk memberikan perhatian pada upaya peningkatan peranan pemerintahan daerah dalam bidang ekonomi. Perhatian dalam bidang ekonomi sangat berkaitan dengan esensi tugas pemerintahan daerah yang utama yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Paktek di negara-negara maju tersebut memang berbeda dengan di negara sedang berkembang yang pada umumnya masih berpusat pada peranan regulasi atau mengatur masyarakatnya. Fungsi Pemda di negara-negara berkembang yang masih berpusat pada bidang regulasi memang tidak salah karena sebagian besar penduduk di negara berkembang belum bisa mengatur dirinya sendiri, sehingga harus diatur oleh pemerintahan menyebabkan lingkungan menjadi penting untuk sebuah organisasi yaitu : pertama lingkungan dapat menyediakan sumber-sumber daya dan kedua lingkungan menawarkan batas dan kendala. Dengan demikian suatu organisasi perlu menghimpung sebanyak mungkin sumber daya dan perlu melindungi diri terhadap tindakan-tindakan serta ancaman pihak lain.
Posisi Pemerintah desa sebagai organisasi yang inovatif menggerakkan perubahan sosial tidak mungkin bergerak mandiri, ia harus menciptakan hubungan (lingkages) dengan lingkungan yang sama-sama mempengaruhi (bersifat mendukung atau menolak) perubahan sosial. Dengan demikian perubahan sosial akan berlangsung dengan sukses jika organisasi yang bersifat inovatif tersebut mempunyai kapasitas administratif yang memadai dan lingkungan yang ada mendukung proses perubahan sosial yang digerakkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan Pemerintah Desa dalam melaksanakan tugas juga ditentukan oleh kemampuan untuk menggali serta menggerakkan dukungan dari lingkungannya yang terlibat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Desa tersebut, sehingga dapat terlaksananya Pemerintah Desa secara menyeluruh, terarah dan terpadu.
2.      Pemerintah desa
Berdasarkan pasal 95 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Desa adalah terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Lebih lanjut dalam pasal 99 ditegaskan bahwa kewenangan Desa mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.      Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
2.      Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah dan
3.      Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan / atau Pemerintah Kabupaten.
Dari kewenangan Desa tersebut, Kepala Desa sebagai unsur pimpinan Desa mempunyai tugas dan kewajiban berdasarkan pasal 101 Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut :
1.      Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa
2.      Membina kehidupan masyarakat Desa
3.      Membina perekonomia Desa
4.      Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa
5.      Mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa dan
6.      Mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.
Ketentuan tentang Pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dijabarkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Malang nomor 04 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa, dimana pada Bab II pasal 2 ditegaskan bahwa di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan desa yang merupakan Pemerintahan Desa. Dengan demikian yang disebut Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa (BPD).
Susunan Organisasi Pemerintahan Desa, terdiri dari :
(a)    Kepala Desa
(b)   Perangkat Desa
Perangkat Desa terdiri dari :
-          Unsur staf, yaitu unsur pelayanan seperti Sekretariat Desa dan atau Tata Usaha.
-          Unsur Pelaksa, yaitu unsur pelaksana teknis lapangan seperti Urusan Pemerintahan dan Pembangunan, Urusan Keamanan.
-          Unsur Wilayah, yaitu unsur Pembantu Kepala Desa di wilayah bagian Desa seperti : Kepala Dukuh yang jumlahnya sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Sedangkan bagan susunan organisasi sebagaimana tertuang pada halaman berikut ini
Lebih lanjut tentang kedudukan, tugas dan fungsi Pemerintahan desa tertuang dalam Bab III Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 04 tahun 2000 pasal 5
Ayat (1) Kepala Desa sebagai alat Pemerintah Pusat, alat Pemerintah Daerah dan alat Pemerintah Desa.
Ayat (2)   Kepala Desa memiliki tugas :
(a)    Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa
(b)   Membina kehidupan masyarakat desa
(c)    Membina perekonomian desa
(d)   Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat desa
(e)    Mewakili desanya didalam dan diluar Pengadilan dan Dapat menunjuk Kuasa Hukumnya
(f)    Mengajukan rancangan peraturan desa dan bersama BPD menetapkan Peraturan Desa.
(g)   Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan.
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepala Desa mempunyai fungsi penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD sebagai berikut :
(a)      Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri.
(b)      Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya
(c)      Melaksanakan tugas dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(d)     Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
(e)      Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
(f)       Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri.
Dalam menjalankan pemerintahan desa Pemerintah desa merupakan prinsip sinkronisasi dan koordinasi, dimana dalam menjalankan pemerintahan desa, maka Pemerintah desa : (a) bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan kepada Bupati tembusannya kepada Camat, (b) menyampaikan pertanggung jawaban dan laporan pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun pada setiap akhir tahun anggaran. Sedangkan Perangkat Desa dalam menjalankan tugas dan fungsinya bertanggung jawab kepada Kepala Desa sesuai hirarkinya. Lebih lanjut dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggung jawab utama di bidang pembangunan, Kepala Desa dibantu Perangkat Desa yang diawasi langsung oleh BPD.

C.    Meningkatkan Kualitas Pelayanan Masyarakat
1.      Pengertian Kualitas
Dalam perspektif Total Quality Management, kualitas dipandang sebagai kesatuan yang meliputi proses, lingkungan, manusia dan hasil yang dicapai. Menurut Garvin dalam Tjiptono (2000 : 51) : “ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif inilah yang dapat menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh pakar yang berbeda dalam situasi yang berlainan”. Adapun kelima perspektif itu adalah :
1.      Transcendental Approach
Dalam pendekatan ini kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit diartikan secara persis atau akurat.
2.      Product Based Approach
Bersifat obyektif dan menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah unsur atau atribut yang dimiliki berbagai produk.
3.      Product Based Approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
4.      Manufacturing Based Approach
Perspektif ini bersifat supply based dan terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufacturan serta mengartikan kualitas sebagai kesesuaian dengan persyaratannya. Pendekatan ini berfokuspada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktifitas dan penekanan biaya. Sehingga yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.
5.       Value Based Approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai affordable excellent artinya produk dengan kualitas yang dapat diterima pada tingkat harga yang wajar.
Pemahaman akan kelima perspektif tersebut dapat bermanfaat bila mampu memadukannya dan aktif menyesuaikannya setiap saat dengan perubahan kondisi yang dihadapi. Oleh karena itu setiap perusahaan jasa harus mendefinisikan kualitas berdasarkan tujuan, harapan, budaya, dan pelanggannya masing-masing. Kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai perspektif di atas adalah kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan dan kaitannya untuk memahami harapan pelanggan serta kebutuhan mereka.
2.      Masyarakat
Pengertian Pelayanan
Kaitan dengan pelayanan kepada masyarakat Ndraha dalam (1998 : 52) menyatakan bahwa “komoditi pelayanan publik adalah jasa publik, yaitu jasa yang mengingat sifatnya menyangkut orang banyak, maka pengelolaan, produksi dan jual belinya diletakkan di bawah kontrol pemerintah”.
Tentang pelayanan, Munir (1995 : 16) berpendapat bahwa pelayanan adalah “suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung”.
Lebih lanjut Munir mengilustrasikan tentang pelayanan itu sebagai berikut : A memerlukan surat keterangan tentang jati diri pegawai di organisasi X, B adalah petugas yang berwenang di organisasi X dan memproses surat yang diperlukan oleh A. Apa yang dilakukan B inilah yang dinamakan pelayanan.
Sedangkan Lukman (1999 : 9) menyebutkan pelayanan adalah “suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung dengan orang, dan atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan”.
Di sini diketahui bahwa pelayanan terjadi adanya kegiatan yang dilakukan baik yang berinteraksi langsung dengan orang yang dilayani maupun dengan dibantu oleh peralatan (mesin) untuk memberikan kepuasan dan pelanggan/masyarakat.
Menurut Stanton dalam Lukman (1999 : 11) pelayanan adalah : “Kegiatan yang tidak jelas, namun menyediakan kepuasan konsumen, dan atau pemakai industri, serta tidak terikat pada penjualan suatu produk atau pelayanan lainnya”.
Pendapat Stanton ini menggambarkan bahwa pelayanan itu tidak sebatas sebagai penjualan produk saja namun juga meliputi kegiatan lainnya yang mungkin tidak jelas bentuknya akan tetapi bertujuan untuk menyediakan kepuasan kepada konsumen atau pelanggannya. Dalam hal ini kepuasan pelanggan menjadi patokan bagi landasan pemberian pelayanan.
Sedang Djaenuri (1999 : 14), mengemukakan bahwa yang dimaksud pelayanan (service) dari sisi pemerintah adalah “proses kegiatan memenuhi kebutuhan orang lain baik yang sifatnya hak dan kewajiban karena adanya peraturan dan pemerintah, dan wujudnya dapat berupa jasa maupun layanan”.
Adapun Woworuntu (1997 : 11) berpendapat bahwa : “pelayanan masyarakat adalah sikap menolong, bersahabat dan profesional yang memuaskan masyarakat dan menyebabkan masyarakat datang kembali untuk mohon pelayanan kembali”.
Menyimak pernyataan-pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan. Bagaimana pemerintah menjalankan aktivitasnya sehingga masyarakat merasa senang dan selalu berkeinginan untuk kembali meminta pelayanan.
Pelayanan Masyarakat
Soewarsono, (1999 : 120), memberikan pengertian jasa atau pelayanan sebagai berikut :
“Jasa/pelayanan adalah kegiatan yang dapat didefinisikan secara tersendiri yang pada hakikatnya tidak teraba (intangibles), pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan produk atau jasa yang lain. Untuk menghasilkan jasa mungkin perlu atau mungkin tidak diperlukan penggunaan benda yang nyata (tangibles). Akan tetapi, sekalipun penggunaan benda itu perlu namun tidak terdapat pemindahan hak milik atas benda itu perlu namun tidak terdapat pemindahan hak milik atas benda tersebut (pemilikan permanent).

Pengertian pelayanan yang dikemukakan oleh Davidow, (dalam Lovelock, 1988 : 18), menyebutkan bahwa :
“Pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing which when added to a product, increase its utility or value to the customer). Lebih lanjut Lovelock (1988 : 19) menyebutkan pelayan yang baik membutuhkan instruktur pelayanan yang baik pula. Hal terpenting adalah membuat setiap orang dalam, organisasi pada kualitas”.

Menurut Moenir, (1988), pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang berlangsung secara terus menerus. Lebih lanjut Moenir mengemukakan bahwa layanan yang diperlukan manusia ada dua (2) jenis layanan yaitu fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia dan layanan administrasi yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (organisasi masyarakat atau negara). Pelayanan umum yang dilakukan oleh siapapun bentuknya tidak terlepas dari tiga (3) macam seperti yang dikemukakan oleh Moenir, (1995 : 191-195), dalam Manajemen Pelayanan Umum yaitu :
1.      Pelayanan dengan bentuk lisan
Pelayanan bentuk lisan dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan dengan masyarakat (HUMAS), bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan.
2.      Pelayanan melalui tulisan
Pada dasarnya layanan melalui tulisan cukup efisien terutama layanan jarak jauh. Agar layanan dalam bentuk tulisan dapat memuaskan pihak yang dilayani, maka harus memperhatikan faktor kecepatan, baik dalam pengolahan masalah maupun dalam bentuk proses penyelesaiannya.
3.      Pelayanan dalam bentuk perbuatan
Pada umumnya layanan dalam bentuk perbuatan 70-80% dilakukan oleh petugas-petugas tingkat menengah dan kebawah. Karena itu faktor keahlian dan keterampilan petugas tersebut sangat menentukan terhadap hasil perbuatan atau pekerjaan.
Setiap individu ingin mendapat pelayanan yang baik, karena pelayanan sifatnya sudah universal berlaku kepada siapa saja yang berkepentingan atas hak itu dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan. Untuk memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan, maka perwujudan pelayanan yang didambakan seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995 : 41-450 adalah :
1.      Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadangkala dibuat-buat sehingga sangat terasa tegaknya disiplin dalam melaksanakan tugas, baik disiplin dalam hal menempati waktu maupun disiplin dalam pelaksanaan pekerjaan.
2.      Memperoleh pelayanan yang secara wajar tanpa menggerutu, sindiran atau untaian kata lain yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas atau alasan untuk kesejahteraan.
3.      Mendapat perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan “tidak pandang bulu”. Artinya kalau memang untuk pengurusan permohonan itu harus antri secara tertib maka hendaknya kepada seluruh masyarakat diwajibkan untuk mengantri sebagaimana yang lainnya, baik antri secara fisik maupun antri masalahnya.
4.      Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu sesuatu yang tidak menentu.
Corsby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988 : 217) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut :
“Penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance to specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya control terus menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa. Pelayanan merupakan respon terhadap kebutuhan manajerial yang akan terpenuhi jika para pengguna jasanya mendapatkan produk yang mereka inginkan. Jika demikian halnya maka yang menjadi perumpamaan bahwa pembeli adalah raja menjadi sangat penting dan menjadi konsep mendasar bagi peningkatan manajemen pelayanan (Lovelock, 1998 : 5).

Permintaan pelayanan kepada masyarakat akan selalu meningkat baik kualitas maupun kuantitas seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perubahan lingkungan yang terus berubah. Guna memenuhi tuntutan tersebut kesiapan dan kemampuan aparatur perlu semakin ditingkatkan agar tidak terjadi kesenjangan antara tuntutan dan harapan masyarakat disatu sisi dan kemampuan aparatur dalam pelaksanaan fungsi pelayanan di sisi lain.
Pelayanan kepada masyarakat yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi dimana sumber-sumber publik semakin langkah keberadaannya perlu dikembangkan pemberdayaan dikalangan masyarakat dan aparatur karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha (1997 : 7), “peran dan posisi birokrasi dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat harus diubah. Peran yang selama ini sukar mengatur dan minta dilayani menjadi suka dilayani suka mendengar tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat.
Dalam perkembangan berikutnya ternyata hakekat pelayanan kepada masyarakat bukan semata-mata persoalan administrasi belaka seperti pemberian ijin dan pengesahan / pemenuhan kebutuhan fisik seperti pengadaan pasar dan puskesmas tetapi ia mencakup persoalan yang lebih mendasar yakni pemenuhan keinginan / kebutuhan pelanggan. Hal ini wajar karena dalam setiap organisasi, pemenuhan dan pemberian pelayanan kepada pelanggan merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi. Kualitas pelayanan dan keputusan pelanggan sangat diutamakan mengingat keduanya berdampak besar pada perkembangan dan kelangsungan misi suatu organisasi.
Untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, pemerintah memberikan penghargaan-pengharaan pada tiap unit pelayanan yang dianggap telah memberikan pelayanan yang terbaik sistem dan prosedur pelayanan peningkatan perilaku staf dan pimpinan instansi dalam menyediakan pelayanan dan evaluasi kepuasan masyarakat.
Untuk tujuan yang sama, banyak negara melakukan reformasi manajemen pemerintah dengan mendorong tanggungjawab pembuatan keputusan dari bawahan, meningkatkan penggunaan sektor privat untuk memberikan pelayanan publik dalam konsentrasi yang lebih besar pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada warga negara sebagai pelanggan (Kim, 1997 : 7). Sehingga pada giliran dan standart kinerja organisasi publik akan sama tinggi dengan kinerja organisasi bisnis, bahkan dengan demikian tingginya tuntutan dalam pelayanan masyarakat membuat administrasi publik bergerak lebih “businesslike”
Kualitas pelayanan (service quality) telah hampir menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi pemerintah maupun swasta. Pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa sangat penting dalam upaya kepuasan pengguna jasa masyarakat.
Kesulitan mendapatkan pelayanan yang berkualitas akan mengakibatkan munculnya take and give antara klien dan customers dan yang memberi pekerjaan. Jika hal ini terjadi maka akan memunculkan adanya suap, sebab bagi orang-orang yang membayar suap kelambatan pelayanan dapat diatasi dengan mudah. Kecepatan kerja yang didasarkan pada suatu imbalan kepada pejabat atau pegawai yang melayani mereka hanya akan mengakibatkan kurangnya rasa hormat pengguna jasa terhadap suatu organisasi. (Silalahi, 1997 : 13).
Agar aktivitas pengambilan keputusan lebih dekat dan mengutamakan pelayanan pelanggan, maka perlu diciptakan struktur organisasi aspiratif dan adaptif, yakni struktur yang lebih desentralisasi. Dengan demikian pemimpin yang berjiwa wirausaha secara naluri mencoba pendekatan yang desentralisasi dengan mengarahkan banyak keputusan kepinggiran atau menekan otoritas keputusan yang kebawah dengan membuat hierarki menjadi datar (flat) dan membei orientasi kepada pegawainya, (Osbrone And Goebler, 1992 : 283).
Dalam konsep manajemen pelayanan memudahkan wewenang dengan tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada bawahan (Wllins, Byham, Wilson, 1991 : 22). Secara kelembagaan upaya untuk mendekatkan pengambilan keputusan dengan pengguna jasa memang perlu perubahan kelembagaan dan pembangunan kelembagaan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan kualitas pelayanan (secvice quality) ialah pembagian kerja atau deferensi.
Gardon, (1993 : 498 – 504), menyebutkan bahwa :
a.       Dalam hal pembagian kerja agar berdasarkan deferensi horizontal yang menekankan deferensi personal.
b.      Dalam hal option for coordinationment dengan standardization of output dan standardization of skill.
c.       Dalam hal information processing agar didasarkan pada organic structure yang memiliki a high information prosessing, yakni kapasitas yang cepat dan akurat.
3. Bentuk-bentuk Pelayanan Masyarakat
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus bersifat nyata dan memuaskan masyarakat. Untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat ada beberapa bentuk pelayanan Moenir (1990 : 190) mengemukakan bentuk-bentuk pelayanan adalah sebagai berikut :
a)      Layanan dengan lisan
Layanan dengan lisan dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan masyarakat (humas). Bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan.
b)      Layanan melalui tulisan
Layanan melalui tulisan merupakan bentuk layanan yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugasnya. Sistem layanan pada abad ini menggunakan sistem layanan jarak jauh dalam bentuk tulisan. Layanan terdiri dari dua golongan yaitu :
1)      Layanan berupa petunjuk, informasi yang sejenisnya ditujukan kepada orang yang berkepentingan agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi dan lembaga.
2)      Layanan berupa reaksi tertulis atau permohonan, keluhan pemberian dan lain sebagainya.
c)      Layanan berbentuk perbuatan
Pada umumnya layanan berbentuk perbuatan sebagian besar dilakukan oleh petugas tingkat menengah dan bawah. Karena faktor keahlian dan keterampilan petugas tersebut sangat menentukan terhadap hasil perbuatan atau pekerjaan.
Berdasarkan urutan diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat harus jelas dan rapi serta sistematis. Dengan diketemukannya bentuk-bentuk pelayanan diatas dapat memberikan pilihan kepada organisasi, instansi atau lembaga tentang bentuk apa yang paling tepat diberikan untuk melayani masyarakat, sehingga dalam kegiatan melayani kepentingan masyarakat petugas yang melaksanakan pelayanan tidak merasa kesulitan dan masyarakat bisa melayani dengan baik.

D.    Strategi Peningkatan Pelayanan Masyarakat
Menurut Kearns dalam Islamy, (2002) ada empat macam strategi yang bisa dipakai untuk menyusun strategi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, yaitu :
1.      Growth Strategies (Strategi Pertumbuhan)
Terdiri dari dua pilihan strategi yaitu suatu strategi pelayanan yang difokuskan pada pengembangan pemberian pelayanan pada program-program pelayanan yang telah ada sesuai dengan portfolio (posisi dan tupoksinya), disebut dengan consentration growth strategy. Misalnya dengan mengembangkan pemberian pelayanan secara horizontal yaitu mendirikan pelayanan di tempat lain atau dengan meningkatkan kapasitas produksi pelayanan. Hal ini dilakukan baik dengan sumber-sumber sendiri (internal) ataupun lewat kolaborasi, akuisisi atau merger (eksternal) dengan pihak lain. Atau pengembangan pelayanan secara vertikal dengan mengontrol saluran supplay dan distribusi. Selain itu bila pengembangan pelayanan dilakukan dengan menambah jumlah dan jenis program pelayanan yang telah ada di portfolionya, ini disebut dengan diversification growth strategy, yang bisa dilakukan secara konsentrik dengan mengarahkan pada diversifikasi produk pelayanan yang sejenis dan diversifikasi secara konglomerasi yang diarahkan pada pengembangan produk layanan yang tidak sejenis.
2.      Retrenchment Strategies (Strategi Meningkatkan Efisiensi)
Ada tiga macam strategi yaitu : turnaround, diversment, liquidation
a.       Strategi perputaran dipakai bila kinerja organisasi menurun tetapi prospek untuk melakukan revitalisasi masih baik atau masih dimungkinkan dengan alasan produk pelayanan masih berada pada jalur bisnis yang benar dan dibutuhkan masyarakat.
b.      Strategi divestasi dilakukan bila strategi perputaran tidak memungkinkan lagi dilaksanakan karena organisasi pelayanan tidak mampu lagi menawarkan portfolio program pelayanan yang benar.
c.       Strategi likuidasi yaitu strategi penghentian secara formal kegiatan pelayanan pada umumnya lewat menjual sebanyak mungkin asset dan mendistribusikan prosesnya kepada para kreditor dan stakeholders.
3.      Stability Strategies (Strategi Stabilisasi)
Strategi ini didesain untuk melindungi posisi dan keberadaan organisasi dilingkungannya. Ada empat varian strategi, yaitu :
a)      Status Quo Strategi, dipakai untuk mempertahankan status dan arah organisasi yang ada sekarang.
b)      Captive Strategy, Digunakan untuk melindungi organisasi dari lingkungan merongrong
c)      Pause Strategi, dipakai untuk penyesuaian diri yang tepat karena adanya pertumbuhan efisiensi atau perubahan organisasi yang substansial;
d)     Incremental Strategy, dipakai bila organisasi membutuhkan perubahan yang bertahap.

4.      Collaborative Strategies (Strategi Kolaborasi)
Strategi ini terdiri dari tiga macam, yaitu : a) Resource Sharing, pihak yang terlibat saling berbagai sumber yang mereka miliki atau akan dimiliki untuk meningkatkan efisiensi pelayanan; b) Join Venture, adanya komitmen diantara dua organisasi atau lebih untuk menangani kebutuhan masyarakat diantaranya secara bersama; c) Strategic Allances, adanya komitmen dua organisasi atau lebih untuk menyatukan kekuatan yang dimiliki yang diarahkan terhadap sejumlah issu strategi guna mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Pendapat lain disampaikan oleh Turner dan Hulme dalam Islamy, (2000) dengan menampilkan dua macam strategi pelayanan, yaitu :
1.      Society – Centered Strategy
Terdiri dari a) Social Class Analysis, yang pada intinya mendeskripsikan pandangan Marxian dan Dependensia di mana pilihan strategi adalah merupakan produk dari konflik yang terjadi antara kelas-kelas sosial yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi; b) Pluralism, pada dasarnya melihat bahwa kebijakan strategis adalah produk dari adanya konflik tawar menawar dan pembentukan koalisi diantara kelompok-kelompok potensial yang besar di masyarakat; c) publik choice, yang intinya masing-masing kelompok dengan rent seeking behavior berusaha memperoleh fasilitas akses dari pemerintah terhadap barang publik dan pelayanan publik.
2.      State Centered Strategy
Strategi ini pada dasarnya menekankan pada peran penting yang dimainkan negara dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis termasuk kebijakan dalam pemberian pelayanan pada masyarakat. Varian dari strategi ini adalah rational actor, bureaucratic politics dan interests.
Dengan lebih banyak melihat pada perumusan strategi implementasi pelayanan, Norton dalam, Islamy. (2001) menawarkan dua strategi pelayanan publik, yaitu :
1.      Strategi pelaksanan langsung pelayanan, terdiri dari :
a.       Pelayanan diberikan oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk itu dan berada di bawah kendali eksekutif.
b.      Setiap unit pelaksana bisa saja diberi otonomi administrasi dan keuangan sendiri tetapi harus dipertanggungjawabkan kepada eksekutif.
c.       Setiap unit pelaksana pelayanan mungkin memiliki status hukumnya sendiri tetapi masih tetap berada dalam lingkungan administrasi pusat dan dikendalikan oleh eksekutif yang terkait.
d.      Otoritas pelaksana pelayanan bisa juga diberikan dalam bentuk Public Enterprise tetapi juga masih dalam kendali pemerintah lokal.
e.       Di kota-kota Kanada dan Amerika Serikat biasanya menunjuk komisi-komisi tertentu untuk melaksanakan pelayanan pada masyarakat. Mereka bisa saja merupakan anggota desan atau bukan tetapi tetap bertanggung jawab kepada eksekutif.
f.       Di Jerman Stadwerke adalah unit pelaksana pelayanan yang berada dibawah kendali pemerintah kota atau dalam bentuk perusahaan yang dikendalikan dan dikontrol oleh wakil pemerintah yang berada didewan pimpinan perusahaan.
g.      Dalam banyak hal pemerintah kota juga mengadopsi bentuk perusahaan terbatas agar lebih leluasan dan fleksibel dalam penetapan anggaran, kepegawaian. Untuk memudahkan kendali dan pengawasan diangkat beberapa anggota pemerintah menjadi anggota dewan pimpinan perusahaan.
h.      Bisa juga disusun Bagan Otoritas Bersama untuk melaksanakan pelayanan pada masyarakat.
2.      Indirect or Delegated Strategy :
a.       Mendelegasikan tugas pelayanan kepada agen baik pribadi publik ataupun privat yang diikat dengan kontrak dengan persyaratan tertentu.
b.      Menyusun gabungan badan (sektor0 publik dan privat untuk menangani tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat yang berada dalam kendali dan pengawasan pemerintah.
c.       Melaksanakan contracting out tugas pelayanan kepada organisasi nirlaba yang kebanyakan masih terkait dengan tugas-tugas badan pemerintah.
d.      Melaksanakan contracting out tugas pelayanan kepada pihak swasta terutama untuk jangka panjang dan mengejar kinerja yang lebih efisien.
Dari berbagai strategi di atas tentunya bebas dipilih oleh sebuah pemerintah. Tetapi apapun pilihan strateginya, menurut Islamy (2002) pemberian pelayanan harus dilandaskan pada beberapa prinsip pelayanan prima sebagai berikut :
1.      Appropriateness, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus relevan dan signifikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
2.      Accessibility, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus dapat diakses sedekat dan sebanyak mungkin oleh pengguna pelayanan.
3.      Continuity, Setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat pengguna jasa layanan.
4.      Technicality, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus ditangani oleh petugas yang benar-benar memiliki kecakapan teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan aturan, sistem, prosedur dan instrument pelayanan yang baku.
5.      Profitability, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus benar-benar dapat memberikan keuntungan  ekonomis dan sosial kepada pemerintah dan masyarakat.
6.      Equitablity, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus tersedia dan dapat diakses dan diberikan secara dil dan merata kepada segenap anggota masyarakat tanpa kecuali.
7.      Transparancy, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah dilakukan secara transparan sehingga masyarakat pengguna jasa layanan dapat menggunakan hak dan kewajiban atas pelayanan tersebut dengan baik dan benar.
8.      Accountability, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, karena pada hakekatnya aparat pemerintah itu mempunyai tugas memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
9.      Effectiveness And Efficiency setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus dilaksanakan secara berhasil guna dan berdaya guna serta sesuai dengan biaya dan manfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat.

BAB III
METODE PENELITIAN


A.    Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan jenis deskriptif, menurut Ndraha (1995 : 104) penelitian deskriptif : “merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan tentang seluas-luasnya obyek research pada satu masa atau saat tertentu”.
Nasir (1998 : 63) mengemukakan pengertian metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia sekelompok obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”. Adapun tujuan dari peneltian deskriptif menurut Nasir (1998 : 63) adalah “untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat suatu hubungan amar fenomena yang diselidiki.

B.     Fokus Penelitian
Adapun tujuan dari penetapan fokus penelitian sebagaimana yang dikatakan oleh Moleong (1993 : 63) adalah : “untuk membatasi studi dan memenuhi kriteria inklusi – ekslusi (memasukkan – mengeluarkan) suatu informasi yang baru diperoleh dari lapangan”.
Dengan demikian dalam penelitian ini perlu ditetapkan fokus penelitiannya fokus penelitian ini adalah :
1.      Jenis pelayanan yang diberikan oleh Aparatur Pemerintah
2.      Perilaku Aparatur Pemerintah Desa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
3.      Pemberdayaan terhadap Aparatur Pemerintah Desa
4.      Strategi meningkatkan kinerja Aparatur Pemerintah dalam memberikan pelayanan pada masyarakt.

C.    Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat/daerah/wilayah diadakannya suatu penelitian, dalam penelitian ini lokasi penelitiannya adalah di kantor Kabupaten Manokwari dengan lama waktu penelitian kurang lebih satu bulan. Penulis memilih lokasi ini karena tidak jauh dari tempat tinggal peneliti dan mendapatkan ijin dari fibak Pemda Kab. Manokwari untuk melakukan kegiatan penelitian dan mencari data-data yang diperlukan selama pelaksanaan penelitian dan mencari data-data yang diperlukan selama pelaksanaan penelitian. Dengan alasan inilah maka peneliti merasa akan lebih mempermudah kegiatan penelitian dan diharapkan dapat memperoleh hasil yang cukup memuaskan sehubungan dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan yang telah disajikan.

D.    Sumber Data
1.      Sumber Data Primer
Data primer tersebut peneliti dapatkan dari wawancara dan dari pengamatan (observasi). Sedangkan sumber data primer merupakan asal diperolehnya suatu data secara langsung dari sumbernya yaitu bersumber dari :
a)      Pimpinan sekretariat kantor yang mempunyai wewenang didalam memberikan bimbingan, pengarahan, perencanaan, kebijaksanaan dan sebagainya bagi bawahannya didalam memberikan pelayanan.
b)      Aparatur, sebagai unsur utama didalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
c)      Beberapa orang masyarakat sebagai penerima pelayanan yang pada akhirnya akan merasakan hasil pelayanan yang didapat.
2.      Sumber data sekunder
Data sekunder peneliti dapatkan dari beberapa kalangan yang dapat menunjang kegiatan pelaksanaan penelitian sehubungan dengan judul yang penulis buat. Data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan, disajikan, dilaporkan, atau disusun oleh pihak lain selain peneliti misalkan data dari hasil peneliti baik dalam bentuk hasil penelitian ilmiah, karya ilmiah, jurnal dan sebagainya.

E.     Metode Pengumpulan Data
1.      Observasi
Pengamatan dilakukan secara langsung kedalam lingkungan terutama yang mempunyai hubungan dengan obyek penelitian. Metode observasi merupakan metode analisis yang paling dasar dan universal, baik dilakukan secara langsung oleh peneliti sendiri maupun secara tidak langsung melalui penggunaan data sekunder. Dengan demikian maka peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap situasi, kondisi dan kejadian dilokasi penelitian untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
2.      Wawancara
Teknik wawancara merupakan pengumpulan data melalui tatap muka (Tanya jawab). Melalui teknik wawancara ini, peneliti melakukan Tanya jawab dengan sumber data guna menggali lebih dalam tentang faktor yang mempengaruhi, memotivasi dan sebagainya dalam membuat perencanaan dan kebijaksanaan terhadap pelayanan kepada masyarakat.
3.      Dokumentasi
Metode dokumentasi ini merupakan cara memperoleh data melalui penghimpunan berbagai dokumen yang terseleksi. Pada penelitian deskriptif yang bertugas menganalisis informasi, metode dokumentasi adalah sangat penting dalam menguraikan secara akurat berbagai data/dokumen dalam suatu alur data mulai dari awal hingga akhir, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan. Dokumen-dokumen yang diperlukan diperoleh dari Lurah dan Aparatur baik berupa arsip-arsip maupun laporan-laporan yang dianggap mendukung seperti laporan pertanggung jawaban tahunan dan sebagainya.

F.     Metode Analisis Data
Dengan selesainya, pekerjaan lapangan dari suatu penelitian maka kegiatan berikutnya adalah mengadakan analisis data. Kegiatan ini digunakan membahas data yang didapat dari penelitian serta digunakan untuk memecahkan atau menjawab masalah yang telah dirumuskan.
Menurut Moleong (1998 : 62-63) “Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi atau ringkasan inti, langkah berikutnya menyusun dalam satuan-satuan. Kemudian dikategorikan sambil membuat coding (pengkodean), tahap terakhir dari analisis data adalah mengadakan pemeriksaan keabsaan data.
Hal ini sesuai dengan tahap-tahap analisis data yang menjelaskan tahap analisis pada penelitian Deskritif Kualitatif, sebagai berikut :
1)      Reduksi data (data reduction)
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, transformasi kata kasar yang muncul pada catatan lapangan. Dalam hal ini reduksi data berlangsung terus menerus selama kegiatan penelitian berlangsung.
Reduksi dalam hal ini dibagi dua yaitu :
a)      Mempelajari fisik dari sistem yang ada yaitu mencatat dan mempelajari prosedur.
b)      Mempelajari logic dari sistem yaitu mencatat dan mempelajari prosedur secara terprogram melalui peraturan.

2)      Penyajian Data
Penyajian data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu secara fisik sistem dan logic sistem. Penyajian data pada dua bagian tersebut merupakan alat bantu dalam penyajian data yang berbentuk sistem. Berikut ini adalah kegiatan yang meliputi dua bagian tersebut :
a)      Secara fisik
-          Menentukan fungsi-fungsi yang dilalui data / dokumen mengenai informasi potensi.
-          Menentukan simbol-simbol atau mengkategorikan jenis data, format, cara memproses, media penyimpanan data hasil keluaran yang digunakan dalam alur data secara fisik beserta keterangannya.
-          Membuat alur data secara fisik dalam bentuk diagram alur data.
b)      Secara logic / prosedur logika
-          Menentukan rincian teknik suatu pengambilan keputusan melalui penyajian klasifikasi uraian,
-          Menentukan simbol-simbol prosedur pengambilan keputusan beserta keterangannya.
-          Membuat alur data secara logic dalam bentuk diagram alur data.
3)      Menarik kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan yang ditarik setelah tidak lagi ditemukan informasi mengenai kasus yang diteliti. Kesimpulan yang telah ditarik akan diverifikasikan, baik dengan pikir peneliti maupun dengan catatan lapangan yang ada dengan sumber informasi. Dengan kata lain makna yang muncul dari data yang telah diuji berbagai cara sehingga diperoleh validitasnya.
Penyajian hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan gambaran dan menguraikan obyek penelitian sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.